Sunday, January 22, 2017

While

Dalam kurun waktu seminggu, saya mendengar 2 kabar anicca. 2 orang ini saya kenal dan sering bertegur sapa ketika bertemu, mereka adalah karakter yang baik, murah senyum dan ramah pada siapa pun. Kepergian mereka begitu singkat waktunya tanpa ada kesakitan, bahkan orang yang sedang berada di sekitar mereka pun begitu shock melihatnya. Di balik dari ketiba-tibaan ini, saya sadar bahwa inilah anicca dimana kita harus merelakan, setidaknya mereka pergi tanpa ada penderitaan.

Saya kemudian kembali merenungi anicca, yah benar... ini semua anicca dimana segala hal yang kita lihat, kita rasakan, kita dengar, kita cium adalah sebuah bentuk ketidakkekalan (anicca). Otak saya kemudian me-review ulang perkataan Guru yang selalu mengingatkan kami untuk selalu sadar dan tidak terbuai oleh sensasi-sensasi yang bersifat sementara.

10 tahun lalu di malam yang dingin, saya sms ke mama saya "kog beberapa hari ini tidak telepon saya?" Selang beberapa menit ada telepon masuk dan saya mendengar sebuah kabar dimana uncle saya yang masih muda dan ramah, meninggal dalam sebuah operasi kecil. Tidak ingat berapa lamanya saya terdiam, saya hanya mendengar suara rintikan air yang telah membasahi buku catatan yang sedang saya pelajari. Seperti kehilangan akal sehat, saya mulai berteriak sambil menangis berkata "bagaimana mungkin, uncle seorang dokter, mana mungkin ini terjadi begitu saja?" Malam itu menjadi malam yang sangat panjang dan berat bagi saya untuk mencerna apa yang telah terjadi.

8 tahun lalu sewaktu saya sedang bersiap-siap berangkat kuliah, sebuah sms masuk dari sepupu saya yang memberikan kabar bahwa salah seorang sepupu saya accident dan pass away. Blank... saya berdiri mematung beberapa saat, sejenak ketika sadar kembali saya menelepon ke auntie untuk memastikan kabar ini. Ketika telepon tersambung, saya berkata "ako (auntie)...", tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, kami terus menangis di dalam telepon sampai uncle mengambil telepon dan mengatakan kepada saya, kamu baik-baik disana yah..., ce Yuli... sudah pergi dengan damai, kita relakan yah. Saya menangis dengan keras seolah-olah dengan tangisan ini dapat mengembalikan cece kesayanganku. Uncle terus menenangkanku, saya dapat mendengar tangisan di balik telepon, saya menangis, mereka juga menangis. Saya juga sudah tidak tahu bagaimana kami menyudahi jaringan telepon international itu.

Hari itu saya tidak masuk kuliah, saya bolos untuk kali pertama selama saya bersekolah. Saya menghilang dari aktifitas kampus selama sepekan, tidak seorang pun yang mengetahui kemana saya pergi, dan apa yang terjadi padaku. Saya hanya ingin menenangkan diri dan mencari arti dari sebuah kehidupan. Di hari kedua, saya mengirim email kepada dosen saya untuk meminta izin selama sepekan, saya akan bertanggung jawab atas segala tugas bila saya balik nantinya. Malam hari mama menelepon untuk menenangkan saya, kali ini saya meminta mama saya untuk terus berbicara dan menemani saya, saya begitu terpukul dengan kepergian cece sepupu yang baru 2 hari yang lalu masih chatting sama saya untuk menyusun acara reuni tahunan keluarga.



Keluarga saya adalah keluarga besar dimana kami selalu dapat akur dan kompak dalam berinteraksi. Tidak membedakan kandung atau sepupuan, ntah itu generasi kakek nenek atau papa mama bahkan kami pun selalu dekat dan harmonis. Sehingga tidak dipungkiri bahwa kepergian uncle Candra ataupun ce Yuli membawa kehilangan yang begitu besar.

Selama sepekan itu, saya seperti kehilangan arah, pada awalnya saya hanya pergi untuk duduk di pantai, mendengar suara ombak saya menyalurkan rasa rindu saya kepada sepupu kesayangan. Menghadap ke laut, walaupun negriku jauh tak terlihat, setidaknya laut ini terbentang sampai ke tanah kelahiranku, di sana ada keluargaku dan hati kami selalu bersama. Pada hari berikutnya, saya berada di gunung untuk merasakan ketenangan, dengan kedekatan ini saya berharap doa saya terdengar oleh Sang Buddha dan ce Yuli dapat terlepas dari penderitaan dan menuju alam sukhavati. Untuk seterusnya, saya menemui Guru saya dan melatih kesadaran, begitu sulitnya saya fokus pada suatu objek, pikiran saya melayang-layang dan terus menangis ketidakkekalan ini. Hari terakhir saya sudah jauh lebih tenang dan merelakan, saya pamit untuk pulang melanjutkan tugas kuliah. Sewaktu memberi hormat, Guru memberi pesan "belajarlah sejauh kamu bisa, asahlah kebijaksanaan dengan tindakan nyata".



5 tahun lalu, saya baru saja pulang dari kerja ketika mendapat bbm dari seorang teman dekat bahwa nenek (dari papa) saya pass away. Tidak berapa lama, papa saya menelepon saya untuk memberi kabar ini. Saya pun segera mengontak teman saya untuk membuatkan saya surat pengurusan visa express, keesokan harinya surat saya sudah jadi dan saya pun terbang pada sore itu, saya bertemu dengan adik saya di bandara transit, kami saling berpelukan, tidak ada kata-kata di antara kami karena kami sedang menenangkan pikiran dan hati. Walaupun saya sudah jauh lebih mengerti tentang anicca, pada dasarnya saya merasa penyesalan dimana apa yang saya pelajari dari nenek begitu minim, nenek saya begitu suka kuliner, tetapi saya tidak dapat melanjutkan seni beliau. Dari kecil saya selalu berada di sisi nenek, masakan nenek begitu special dan enak, itu adalah rasa dimana saya tidak dapat menemukan di dalam semua masakan keluarga saya termasuk mama saya.

2 tahun lalu, nenek (dari mama) sakit sehingga beliau harus di opname di rumah sakit. Setiap pagi saya dan mama bertukar shift dengan kakek untuk menjaga nenek. Waktu itu saya sudah for good dan mendapat jam kerja sore. Bagi saya waktu itu, quality time keluarga jauh lebih penting dibanding jenjang karir, karena saya tahu bahwa nenek saya tidak memiliki waktu yang lama untuk bertahan dan saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menemani beliau.

Seperti biasa hari itu, saya membawa kerjaan saya ke rumah sakit dan lebih terjaga dengan kondisi nenek yang waktu itu mulai drop. Ntah karena dorongan apa, saya kemudian mengeluarkan foto Buddha yang selalu saya bawa di dalam tas. Saya meletakkan foto Buddha di atas ranjang nenek dan berdoa "dengan welas asih Sang Buddha, bawalah nenek saya supaya terlepas dari penderitaan ini." Saya begitu sedih melihat nenek saya sakit, dan saya justru tidak dapat membantu meringankan kesakitan ini. Ketika nenek saya mulai berkata bahwa ada siapa siapa di dalam kamar yang sebenarnya kosong, saya tersenyum dan menitikan air mata berkata "iyah nek, ada siapa lagi?" Saya sadar bahwa nenek saya sedang menuju ketidakkekalan.

Pintu kamar di ketok, seorang suster masuk dengan mendorong mesin oksigen. Saya tetap duduk di sofa sembari mengerjakan kerjaan saya, sekejap saya melirik ke arah nenek yang sepertinya merasa nyaman. Waktu saya melirik lagi, tangan beliau melambai ke saya, saya berdiri mendekati beliau untuk menenangkan beliau. Kemudian saya menggeserkan posisi ke depan ranjang untuk melihat nenek dengan jelas dari depan, saya lega ketika melihat beliau begitu nyaman seperti tidak ada kesakitan. Tidak berapa lama tiba-tiba suster memanggil nenek dan saya mulai panik, ketika pada akhirnya dokter datang mengecek dan mencabut infus, saya sadar bahwa nenek sudah meninggalkan duniawi, saya terus melafalkan Amitofo dan berdoa supaya nenek segera menuju alam sukhavati. Sewaktu mama saya menelepon orang rumah, saya melihat diluar jendela sedang hujan lebat, air menandakan kejernihan dan ketenangan, saya percaya bahwa nenek sudah terlepas dari penderitaan, saya merelakan.



Dalam kurun waktu 10 tahun, saya kehilangan 4 orang yang saya sayangi, pada akhirnya saya mengerti bahwa segala sesuatu yang dapat saya rasakan, saya lihat ataupun saya sentuh adalah bersifat sementara. Saya yang dulunya menganggap kepergian seseorang adalah sebuah bentuk "kehilangan", sekarang saya melihat dengan sudut pandang yang berbeda bahwa itu adalah sebuah "berkah". Perjalanan hidup ini bagaikan menumpang public transport dimana sepanjang perjalanan selalu ada penumpang yang naik dan turun di titik yang berbeda. Ini menyadarkan saya untuk lebih menghargai dan bersyukur kepada semua insan, di kehidupan ini saya dapat bertemu, seberapapun waktunya (singkat atau lama) inilah karma jodoh.

Melihat anicca, apa yang harus saya perhitungkan lagi? 


No comments:

Post a Comment